PENYAKIT JANTUNG KORONER
Saya adalah seorang karyawan di hotel Jayakarta, Jakarta. Di bulan September tahun 2009, saat itu saya sedang bekerja, tiba-tiba saya merasa sesak. Sulit sekali untuk bernafas. Dada saya terasa sakit sekali. Akhirnya saya dibawa ke rumah sakit Husada sore itu. Di IGD (Instalasi Gawat Darurat), saya diberi oksigen, tidak berapa lama terasa enak nafas saya.
Saya pun dibolehkan pulang malam itu. Tapi tiga hari kemudian, sepulang kerja, penyakit ini kambuh lagi. Saat itu saya sudah berada di kereta.
“kalau saya sakit di kereta..bisa meninggal saya” pikir saya.
Saat kereta mulai bergerak perlahan, saya akhirnya nekad meloncat keluar. Karena didorong rasa panik yang luar biasa. Saya benar-benar kuatir seandainya terkena serangan penyakit pada saat saya masih di kereta. Tertatih-tatih saya mencari ojek, untuk pergi ke rumah sakit Husada. Sesampainya di rumah sakit, saya diberi oksigen lagi, dan dokter yang merawat saya di IGD mengatakan bahwa saya terkena sakit jantung koroner. Luar biasa kagetnya saya mendengar hal ini. Saya dirawat di IGD rumah sakit Husada sampai malam, akhirnya pada jam 12 malam saya dibolehkan pulang. Dan saya harus beristirahat selama 3 hari di rumah.
Selama beristirahat di rumah, badan saya terasa lemas, walaupun nafas saya tidak terasa sesak seperti saat terkena serangan. Hanya dalam pikiran saya masih belum yakin sepenuhnya, kalau saya terkena penyakit jantung koroner. Pada hari ketiga di rumah, kira-kira pukul 2.30 pagi, saya terkena serangan lagi. Rasa takut yang luar biasa menyelimuti saya. Terbayang wajah anak-anak saya yang masih kecil. Terbayang wajah istri saya. Bagaimana seandainya hal yang terburuk terjadi pada saya saat itu. Bagaimana dengan mereka. Pikiran saya dipenuhi dengan segala macam ketakutan, kekhawatiran. Sementara dada saya terasa sakit, nafas saya sesak.
Paginya saya dibawa ke rumah sakit di Bekasi. Dokter yang memeriksa saya mengatakan hal yang sama, bahwa saya terkena sakit jantung koroner. Setelah diterapi di rumah sakit itu, saya dibolehkan pulang. Saya masih belum bisa menerima kalau jantung saya sakit. Saya berniat untuk memeriksakan diri ke rumah sakit lainnya. Untuk mencari pendapat lain. Dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain.
Dari Cikarang sampai Bekasi. Dari rumah sakit kecil sampai rumah sakit besar. Saya terus berusaha memeriksakan penyakit saya. Sementara penyakit saya bertambah parah. Saya semakin sering merasa sesak nafas. Sambil memeriksakan diri, saya pun mengkonsumsi obat-obatan tradisional, selain obat-obatan yang saya dapatkan dari para dokter.
Setelah memeriksakan diri ke banyak dokter, di banyak rumah sakit, kesimpulan yang diberikan selalu sama, bahwa saya menderita sakit jantung koroner. Akhirnya saya pasrah menerima kenyataan. Dari dokter terakhir yang saya kunjungi, saya mendapat surat pengantar untuk memeriksakan diri ke rumah sakit Harapan Kita. Keesokan harinya saya beserta istri berangkat ke rumah sakit Harapan Kita.
Di rumah sakit Harapan Kita Jakarta, saya diperiksa kembali oleh seorang dokter ahli jantung. Hasilnya adalah, saya harus segera dioperasi untuk memasang ring. Dan saya harus dipasang dua buah ring.
“waduh…berapa biayanya ?” pikir saya.
Saya langsung teringat anak-anak saya yang masih kecil-kecil. Kalaupun operasi itu berhasil, bagaimana kelanjutannya ? Bagaimana dengan kondisi fisik saya ?
Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan di benak saya saat itu.
“bapak harus segera dioperasi…besok pagi saja” dokter berkata kepada saya membuyarkan semua lamunan saya.
“tapi dok…bagaimana biayanya ? berapa yang dibutuhkan” tanya saya
“satu buah ring paling murah 32 juta…”kata dokter itu lagi.
32 juta rupiah satu ring, sementara saya butuh 2 buah ring, berarti 64 juta hanya untuk ringnya saja. Belum biaya operasinya, biaya obat-obatan, biaya perawatan setelah dioperasi. Bisa ratusan juta yang saya butuhkan. Semakin pusing kepala saya. Saya beranikan diri untuk menghubungi kantor. Saya ceritakan semua keadaan saya.
Alhamdulillah…kantor saya sangat mendukung. Bahkan berkenan untuk membiayai semua pengobatan saya.
“baik dok…tapi bagaimana setelah operasi ?” tanya saya lagi.
“ya tergantung dari bapak…harus bisa jaga makan, kalau bisa jaga makan, bapak bisa sembuh…kalau tidak ya sakit lagi…operasi ini hanya 99 %…yang 1% lagi adalah kehendak Tuhan…Kalau Tuhan berkenan, 1 detik saja semuanya bisa berubah…” kata dokter itu menjelaskan.
Kalimat terakhir dari dokter itu seperti menampar saya. Kalau Tuhan berkehendak, satu detik saja semuanya bisa berubah. Kenapa saya pilih yang 99 % tapi belum pasti hasilnya. Tapi saat itu semuanya sudah siap. Saya tinggal masuk kamar perawatan, besok pagi dijadwalkan untuk operasi, dan kantor sayapun sudah bersedia untuk membiayainya. Apa yang harus saya putuskan ?
Ditengah kebimbangan saya seperti mendengar ada yang berkata dalam hati saya.
“tidak usah dioperasi”
Akhirnya dengan mantap saya putuskan untuk pulang saja ke rumah.
Malam hari di rumah, badan saya lemas, nafas sesak, dan ada rasa takut yang luar biasa menyergap saya. Apa saya akan sampai pagi hari besok ? Pertanyaan itu muncul. Sampai tidur malampun selalu terbangun terus. Membuat badan saya yang lemas menjadi semakin lemas. Pagi hari esoknya, saya hanya berharap bisa hidup sampai sore hari.
Begitu terus setiap harinya. Kalau malam, saya hanya bisa berharap dapat hidup terus sampai pagi. Kalau pagi, saya hanya berharap dapat hidup sampai malam lagi.
Sampai satu hari istri saya pulang dari tempat kerjanya, dan berkata kepada saya.
“ya sudah kalau tidak mau dioperasi…ikut senam Mahatma saja”
“apa itu Mahatma ?” tanya saya.
“orang-orang di tempat kerja saya ikut Mahatma, badan mereka bugar terus. Biar habis lembur sampai tengah malam, besok paginya kerja sudah segar lagi” kata istri saya.
“ya sudah, saya mau ikut” kata saya
Saya ingin sembuh. Saya akan mencoba apa saja agar terbebas dari penyakit saya.
Akhirnya malam hari besoknya datanglah pelatih Mahatma. Bapak Pandu namanya. Rupa-rupanya beliau satu tempat kerja dengan istri saya. Sudah sering pak Pandu menyarankan istri saya, agar saya ikut latihan Mahatma saja. Beliau bercerita bahwa sudah banyak yang mendapatkan kesembuhan di Mahatma. Rumah saya di Tambun Bekasi, sedangkan beliau tinggal di Pasar Minggu Jakarta. Jarak yang lumayan jauh, tapi beliau bersedia datang ke sini hanya untuk sekedar melatih saya.
Setelah belajar tehnik nafas Mahatma, saya mulai latihan. Nafas saya masih sesak, badan saya lemas. Bahkan di saat pemanasan sebelum mulai latihan, saya jatuh pingsan. Begitu tersadar, istirahat, saya lanjutkan kembali latihan.
Dalam hati saya berdoa.
“ya Allah…mohon cabut penyakit hamba ya Allah..”
Saya ikuti semua petunjuk pelatih saya. Beliau meminta saya untul menahan nafas sebanyak tujuh langkah. Itu hal yang sangat berat bagi saya. Baru lima langkah saja seperti sudah mau meledak dada saya. Tapi saya tidak ingin menyerah. Saya hanya membayangkan kesembuhan bagi saya. Mungkin ini adalah 1 % yang dokter itu maksud.
Latihan malam itu selesai. Dan aneh…walaupun berat sekali latihan malam itu rasanya bagi saya, badan saya terasa segar setelahnya. Padahal baru sekali latihan. Kami janjian untuk latihan esok hari. Tapi sebelum berpisah ada satu hal yang saya tanyakan kepada pak Pandu.
“pak..boleh saya bertanya ?” tanya saya
“oo silakan pak..”jawab beliau ramah
“tadi waktu latihan kenapa bapak telpon terus ya ?” tanya saya lagi.
Beliau terdiam sejenak, kemudian menjawab.
“saya telpon ketua jaringan pak, guru saya..”
“ada hal yang penting pak ?”
“tidak ada…hanya menceritakan kondisi bapak” jawab beliau.
“kenapa pak ?” tanya saya
Pak Pandu terdiam. Tapi akhirnya beliau menjawab pelan-pelan.
“saya takut bapak meninggal di lapangan…”
Saya kaget mendengar jawaban beliau itu. Sudah sedemikian parah ternyata kondisi saya.
“tapi jangan kuatir pak…kita pasrahkan saja kepada Allah” kata pak Pandu lagi.
Saya hanya mengangguk. Saya setuju sekali. Kalau memang harus meninggal, lebih baik saya meninggal dalam keadaan berdzikir kepada Allah. Tadi selama latihan pak Pandu selalu mengingatkan saya untuk terus berdzikir. Saya semakin mantap untuk mengikuti latihan esok harinya.
Besok malamnya kami lanjutkan latihan hari kedua. Masih sama beratnya saya rasa. Tapi membayangkan rasa nikmat yang saya terima jika telah selesai latihan, membakar semangat saya untuk berlatih dengan sungguh-sungguh.
Latihan ini berlanjut terus, hari ketiga, hari keempat, sampai di hari kelima, saya mendapat jurus putar lima. Luar biasa rasanya. Saya muntah-muntah sepanjang latihan. Sampai rasanya sudah tidak ada lagi yang bisa dimuntahkan.
Tapi kembali ada keanehan yang saya rasakan, badan saya terasa semakin ringan dan segar. Dan tanpa terasa sudah dua minggu saya latihan setiap hari. Sudah banyak sekali kemajuan yang saya rasakan. Badan saya sudah sehat kembali. Tidak pernah lagi merasa sesak. Dan yang terpenting, saya sudah tidak lagi dihantui ketakutan yang sangat mengganggu saya. Sudah tiba saatnya saya mengikuti ujian pendadaran, agar saya bisa dilantik menjadi anggota Mahatma.
Dan Alhamdulillah sekarang saya sudah menjadi pelatih Mahatma. Saya ingin menyebarkan berita gembira ini. Saya yang sudah siap untuk dioperasi, Alhamdulillah…dengan perkenan dan izin Tuhan, bisa sembuh tanpa operasi yang membutuhkan biaya ratusan juta rupiah. Saya setuju dengan pendapat dokter, bahwa jika Tuhan berkehendak, satu detik saja semua bisa berubah.
Saya bawa Mahatma ke kantor saya. Saya ajak teman-teman saya untuk ikut latihan. Agar merekapun bisa merasakan kenikmatan yang sudah saya rasakan. Dan Alhamdulillah..ajaib lagi, anggaran medical cost kantor saya menurun sampai 75 persen dalam tiga bulan saja. Satu pencapaian yang luar biasa. Maha Kuasa Tuhan, jika Tuhan telah berkehendak tidak ada yang tidak mungkin. Satu detik saja semuanya bisa berubah. Alhamdulillah.
Terimakasih kepada seluruh guru yang telah membimbing saya, terutama kepada guru besar Mahatma Kyai Haji DR. Achmad Riva’i, semoga Allah selalu merahmati dan memberkahi seluruh guru kami tercinta. Aamiin.
Seperti yang dikisahkan oleh:
Bapak Suyitno ( Tambun – Bekasi, Jawa Barat )
NAM 366269
Telp 0821-1114-6422
Komentar
Posting Komentar
Silahkan untuk isi dengan komentar yang membangun