Kisah Nyata "Batal Operasi"


BATAL OPERASI

Apakah ini yang namanya post power syndrome ? Saya tidak tahu persis. Yang jelas menjelang pensiun, dan usia saya memasuki 55 tahun, Alhamdulillah saya masih sehat wal afiat kecuali satu, ada penurunan fungsi pada pendengaran saya. Namun hal itu tidak pernah saya pedulikan. Dalam hati saya selalu berkata “ah itu kan wajar, saya tidak muda lagi”

Hari demi hari berganti dan masa pensiun itu akhirnya tiba juga pada 22 Februari 2011. Saya sendiri sudah mempersiapkan beberapa kegiatan usaha untuk masa pensiun, seperti membuka warung internet dan buka depot air isi ulang. Harapan saya, saya ingin menikmati masa tua bersama Mely istri tercinta yang setia mendampingi hidup saya, dan melihat anak-anak tumbuh menjadi dewasa dan berkeluarga. Dan kegiatan yang tidak pernah saya tinggalkan semenjak empat belas tahun lalu adalah mengamalkan ilmu Mahatma untuk mengajak orang lain menjadi sehat.

Rupanya perusahaan tempat saya bekerja, PT Shinta, meminta saya untuk tetap bekerja dulu selama setahun, kontrak, sampai ada pengganti saya. Saya ditempatkan sebagai officer di bagian PPIC, hanya sebagai penasehat, jadi bukan pekerjaan yang memerlukan tenaga fisik yang berat. Namun saya kembali merasakan semakin hari telinga ini semakin berkurang pendengarannya. Sampai tibalah bulan November 2011, tiga bulan sebelum berakhirnya kontrak, kedua telinga saya terus mengeluarkan cairan, dan saya semakin sulit mendengarkan setiap orang yang berbicara dengan saya.

Suatu hari dokter perusahaan, dr Budiman bertanya kepada saya saat saya konsultasi. Saya tidak mendengar apa yang beliau tanyakan. Saya kemudian menjelaskan dengan menggunakan bahasa isyarat, kalau saya tidak bisa mendengar. Beliau rupanya paham masalah yang saya hadapi. Tiba-tiba beliau merobek kertas catatan di hadapannya dan menuliskan sesuatu, lalu meyodorkan kepada saya.

“Apakah bapak banyak permasalahan dalam pekerjaan atau stress ?” begitu bunyinya.

Saya kemudian menuliskan jawaban saya, di bagian bawah catatan beliau sambil saya bacakan.

“tidak dok, saya tidak stres. Sekarang saya sudah pensiun, tapi masih dikaryakan dan akan dievaluasi setiap satu tahun.”

Begitulah kondisi saya. Tidak bisa mendengar suara pada jarak lebih dari 30 cm. Hanya istri saya yang selalu menempelkan mulutnya ke telinga saya. Dari hasil konsultasi dengan dr Budiman, saya dirujuk ke RS Umum Tangerang, untuk dimintakan pandangan mengenai penyakit yang saya derita ini.

Pagi itu, seperti biasanya, istri saya membuatkan secangkir teh manis. Kami biasanya duduk berseberangan di meja makan, saling berhadapan. Berdua…ya berdua. Sambil ngobrol membicarakan masa depan anak-anak. Anak kami yang pertama, Bambang, bekerja di Jayapura. Anak kedua, Agus, kuliah di Lampung dan yang ketiga indekos di Jakarta, sekolah guru olahraga. Hanya anak kami yang ketiga, Ica, yang rutin pulang kalau hari Minggu.

“Ayah, mungkin benar dugaan dokter kalau ayah banyak pikiran, mungkin ayah gak menyadari itu.” Tak seperti biasanya sambil memijit pundak saya, istri saya mendekatkan mulutnya mengucapkan kata-kata itu.

Belum saya menjawab apa yang ia bisikkan, ia kembali berkata.

“Ayah, sudahlah..ayah nikmati saja masa pensiun, jangan khawatir..toh saya masih bekerja.”

Walau sudah sering saya katakan bahwa saya tidak stres, tapi saya terharu juga mendengarnya. Saya merasakan kebahagiaan yang begitu mendalam. Istri saya sungguh perhatian terhadap penyakit saya. Mungkin juga karena pekerjaannya sebagai guru SD, ia selalu sabar. Ia yang lebih muda tujuh tahun dari saya, terlihat lebih bijaksana.

Di kesempatan lain, saat anak saya yang pertama, Bambang, pulang ke Tangerang, ia amat prihatin melihat kondisi saya. Sambil membuka oleh-oleh yang ia bawa untuk ibunya, sesekali ia menatap wajah saya. Ia amat berbakti pada orangtua.

“Ayah, kalau menurut Bambang, usia ayah sudah tidak muda lagi., tidak perlu memaksakan diri untuk usaha yang membuat ayah cepat lelah dan gampang sakit. Ayah lebih mulia mengembangkan Mahatma ketimbang capek-capek berjualan. Ayah bisa menolong banyak orang. Untuk hidup ayah, Bambang janji yang akan menanggung” begitu katanya yang bisa saya tangkap.

“Tapi Bang, ayah kan tidak melakukan usaha ayah sendirian. Ayah punya karyawan” jawab saya, untuk menyangkal bahwa penyakit yang saya derita bukan karena kegiatan usaha, seperti yang dia khawatirkan.

Rupanya dia tahu, bahwa tidak mudah bagi saya untuk membuka usaha sendiri. Warung internetpun akhirnya tutup. Bahkan untuk depot air isi ulang, sudah banyak berganti karyawan. Saya sadari kegiatan usaha yang saya lakukan banyak jatuh bangunnya. Namun untuk Mahatma, saya selalu setia. Dalam kondisi yang saya alami ini, saya tetap melatih dan juga mengunjungi cabang-cabang saya, karena tanggungjawab saya sebagai ketua jaringan.

Akhirnya, tibalah harinya saya harus memeriksakan diri ke RSU Tangerang. Sengaja saya berangkat pagi agar mendapat nomor antrian awal. Saya memakai sepeda motor, dan istri saya bonceng di belakang. Maklum, karena saya merasa segar bugar, hanya telinga saya yang tidak mendengar, hampir tuli.

Seperti pemandangan Rumah Sakit pada umumnya, sibuk luar biasa. Aroma obat yang menyengat, pasien yang baru datang dan perlu pertolongan, suster yang mendorong pasien untuk diperiksa, kesibukan di Unit Gawat Darurat, bahkan juga jerit tangis keluarga pasien yang meninggal dunia. Setiap gang hampir penuh dengan keluarga pasien silih berganti menunggu anggota keluarganya yang dirawat. Walau saya sendiri punya masalah telinga, hati saya tetap berteriak,

“mestinya orang-orang ini saya ajak latihan Mahatma, kasihan..sudah sakit harus mengeluarkan banyak biaya”

Saya sendiri bersyukur, istri saya seorang pegawai negeri, jadi biaya pengobatan saya ditanggung oleh Askes istri saya. Sekalipun begitu, saya juga khawatir berapa nanti biaya yang harus kami tanggung. Khawatir kalau plafon askes istri saya tidak mencukupi untuk pengobatan saya.

Akhirnya giliran saya untuk diperiksa tiba. Saya baca dengan jelas papan bertuliskan Poly THT. Satu bagian dari rumah sakit yang mengkhususkan Telinga, Hidung dan Tenggorokan.

“pak Tukino, sekarang bapak menuju ke bagian audiologi” kata suster menunjuk ke salah satu ruangan.

“tes apa lagi ya” saya menebak-nebak. Tapi dari judulnya audio, saya pikir pasti berkaitan dengan suara.

Dari hasil pemeriksaan disimpulkan oleh dokter, bahwa kedua telinga saya ada yang berlubang atau bocor, sehingga mengeluarkan cairan. Penanggulangannya harus dioperasi. Bagian yang berlubang harus ditambal menggunakan bagian tubuh yang lain. Begitulah yang saya tahu dari istri saya, yang seperti biasa menempelkan mulutnya, memberitahukan hasil pemeriksaan telinga saya.

Sejenak saya menundukkan kepala. Jujur saja, ada rasa takut mendengar kata operasi. Terlintas dalam bayangan saya, dokter sedang menyayat paha saya, mengambil kulit atau daging untuk menambal lubang di telinga saya, sementara saya hanya bisa terbaring pasrah antara hidup dan mati. Saya harus menyiapkan mental untuk dioperasi, begitu tekad saya.

“gimana ayah ?” istri saya menyadarkan lamunan saya.

“yah…mau gimana lagi kalau jalannya memang harus begini, apapun saya ikuti kata dokter, yang penting saya bisa mendengar kembali. Saya seperti orang gila dan tersiksa karena tidak bisa mendengar seperti ini…” saya meyakinkan istri saya dengan penuh percaya diri, menutupi segala kekhawatiran saya.

Saya lihat sebutir air mata jatuh di pipi istri saya. Ia kemudian memeluk saya.

“ayah, saya berdoa semoga ayah sabar dan tabah atas ujian ini, dan diberi jalan kesembuhan oleh Allah”

“amiinn…” saya mengamininya sambil menepuk-nepuk punggung istri saya.

“kata dokter, ayah harus cek kesehatan lainnya, seperti darah, gula, penyakit dalam dan jantung sebagai persyaratan operasi, dan ini termasuk operasi besar katanya” istri saya menjelaskan

“apapun kata dokter, saya akan ikuti..” saya peluk kembali istri saya.

Hari-hari berikutnya saya bolak-balik ke Rumah Sakit, sekitar hampir dua minggu, untuk melakukan tes kesehatan yang dibutuhkan sebelum menjalani operasi. Alhamdulillah semua tes menunjukkan hasil yang baik. Tekanan darah, gula darah, fungsi jantung saya, semuanya normal. Kecuali telinga saya.

Semua hasil tes itu saya serahkan kepada dr Eko Teguh, Sp.THT. Akhirnya kami sepakat, bahwa saya akan dioperasi pada hari Kamis jam 9 pagi, tanggal 29 Desember 2011.

Kurang seminggu lagi tahun baru 2012. Terbayang wajah anak-anak liburan dan kumpul bersama keluarga. Terbayang pula kemeriahan kota Tangerang menyambut tahun baru di setiap pelosok kotanya. Tapi kali ini anak-anak tidak bisa menikmati pergantian tahun seperti dulu, karena melihat ayah mereka yang akan dioperasi. Sedih hati saya membayangkan itu semua.

Ternyata banyak sekali pasien yang harus dioperasi. Termasuk operasi telinga seperti saya. Mereka harus antri menginap di kamar tunggu. Sudah seminggu saya menghubungi rumah sakit untuk mendapat kepastian kamar buat menginap. Masih penuh, begitu informasi dari RSU. Sambil menunggu saya sempatkan mengabari ketua cabang Mahatma Paradise Serpong City, bapak Ir. H. Edy Sulistyo MM., tentang kondisi saya ini.

Samar-samar saya masih mendengar suara pak Edy di ujung telepon. Beliau kaget mendengar kabar ini. Karena sekitar awal November, saya masih sempat berkunjung ke cabangnya.

“bukankah sebulan yang lalu bapak sehat-sehat saja pak” begitu pertanyaan beliau dengan nada terkejut.

“betul pak, tapi setelah itu saya merasakan sakit kepala yang berat dan akhirnya telinga saya mengeluarkan cairan, saya tidak bisa mendengar dengan normal, bahkan rasanya hampir tuli”

Saya masih bisa mendengar suara pak Edy, karena telepon saya tempelkan di telinga. Itupun masih ada kata-kata beliau yang tidak bisa saya tangkap. Yang jelas saya dengar beliau turut prihatin dan mendoakan kesembuhan untuk saya.

Alhamdulillah, pada tanggal 27 Desember 2011, dua hari sebelum operasi, saya mendapat kepastian, bisa mulai menginap di RSU Tangerang. Berbekal pakaian secukupnya dan ditemani istri saya, saya mulai menjalani kehidupan di rumah sakit.

Saya mulai beradaptasi dengan kehidupan disana. Menu makanannya, tempat tidur yang tidak bisa menampung kami berdua, hanya cukup untuk diri saya saja. Saya lihat istri saya rela tidur di lantai. Malam terasa sangat panjang menanti saat operasi tiba.

Saya semakin menyadari sehat itu mahal. Apalah artinya harta yang kita punya, jika kita sakit-sakitan. Orang yang tahu nilai sehat adalah orang yang sedang sakit. Semoga istri saya tidak menjadi sakit karena mengurus saya. Dalam benak saya, mungkin ini ujian dari Allah, agar ilmu yang didapatkan tidak hanya sekedar teori, tapi harus diamalkan. Merasakan bahwa sehat adalah kebutuhan semua orang, sehingga saya bisa lebih bersemangat lagi menolong orang banyak untuk menjadi sehat.

Malam sebelum saya dioperasi, pak Edy dan istrinya datang mengunjungi saya. Sayang saya sudah tidak bisa mendengar apa yang beliau katakan. Saya hanya mampu menebak-nebak apa yang beliau ucapkan, dengan melihat gerakan mulutnya saja. Saya sadar, ini percakapan yang tidak nyambung.

“pak Edy, terus kembangkan Mahatma, dan mohon doanya untuk operasi saya besok” begitu pesan saya ke beliau.

Pak Edy dan istrinya hanya mengangguk, kemudian beliau berdua bercakap-cakap dengan istri saya, cukup lama. Saya hanya terbaring menyaksikan mereka, tidak tahu apa isi pembicaraan mereka. Sampai akhirnya pak Edy dan istrinya pamit untuk pulang.

Setelah tamu saya pulang, terasa sekali heningnya malam di rumah sakit. Saya teringat peristiwa sore hari tadi. Saat seorang perawat hendak mengambil darah saya untuk keperluan operasi besok. Ia kesusahan menemukan urat nadi saya. Lama sekali tidak ketemu, akhirnya dia meninggalkan kamar saya dan kembali lagi dengan seorang perawat lainnya. Saya menduga perawat yang satu ini adalah atasannya. Sama seperti sebelumnya, perawat senior ini pun kesulitan menemukan urat nadi saya, lama sekali tidak ketemu.

Tak terasa malam semakin larut, dan akhirnya saya pun tertidur. Malam itu terasa dingin sekali, Karena hujan lebat turun.

Kamis, jam 7.30, saya terbaring di kereta yang didorong dua orang perawat menuju ruang operasi. Saya sudah mengenakan pakaian operasi, pasrah. Di hati saya teringat kata-kata guru saya, guru besar Mahatma, bapak K.H. DR. Achmad Riva’i, yang menyampaikan sebuah hadits.

“Allah akan menolong hambaNya selama hamba tersebut menolong sesamanya”

Sambil memejamkan mata, di hati saya berdoa dengan penuh kesungguhan.

“ya Allah, hambaMu yang penuh dosa ini mohon ampun padaMu ya Allah, Mohon berikanlah pertolonganMu kepada hambaMu yang lemah ini…ya Allah, Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu, Engkau Maha Menyembuhkan, hamba mohon ya Allah…mohon berikanlah kesembuhan bagi hamba…mohon kabulkanlah doa hamba ya Allah, amiin”

Pelan-pelan saya buka mata saya, ada seseorang di samping tempat tidur saya, sepertinya menanyakan sesuatu. Saya hanya menjawab dengan isyarat bahwa saya tidak dapat mendengar.

Akhirnya tiba saatnya saya masuk ruang operasi. Saya lihat dokter dan timnya telah siap. Tangan yang kemarin dicari urat nadinya, kini dipasangi alat, dan saya disuntik bius. Samar-samar saya masih merasakan tenggorokan saya dimasuki selang. Dan akhirnya saya tidak sadar.

Saya mulai sadar kembali ketika saya sudah berada di luar ruang operasi.

“saya masih hidup !” teriak saya dalam hati.

Ingin rasanya meloncat dari kereta dorong ini, dan bersujud kepada Allah sebagai wujud rasa syukur saya. Saya bisa mendengar kembali. Saya bisa mendengar percakapan orang-orang di sekeliling saya. Saya lihat keluarga saya sudah berkumpul di sekeliling saya saat itu. Istri saya tidak ada. Mungkin sedang di ruang dokter atau sedang mengurus administrasi, pikir saya. Saya lihat jam di dinding ruangan, jam 10. Saya bingung.

“bukankah operasi butuh waktu enam jam ?”

“kalau mulai jam 9, harusnya baru selesai jam 3 sore”

“ini baru jam 10…apa yang terjadi ?”

“tapi saya sudah bisa mendengar, berarti operasi berhasil”

“apapun yang terjadi, terimakasih ya Allah, Engkau telah mengabulkan doa hamba”

Begitu banyak pertanyaan dan pikiran yang berkecamuk dalam hati saya. Ingin rasanya segera tahu apa yang terjadi dengan operasi saya yang baru selesai dilakukan.

Saya masih belum berani memegang telinga saya. Masih terbayang, telinga saya baru selesai ditambal dengan daging dari bagian tubuh saya yang lain. Saya mencoba merasakan dari ujung kepala sampai ke ujung kaki saya, mencoba menebak-nebak, bagian mana yang diambil. Saya tidak bisa merasakan, mungkin karena masih terpengaruh obat bius, begitu pikir saya.

“awas ma…jangan pegang kuping saya dulu, masih bekas operasi” saya berteriak kepada istri saya yang mengantarkan saya kembali ke kamar, dan mau menyentuh telinga saya.

“ayah dengar ya” istri saya mencoba menenangkan saya.

“iya ma” jawab saya

“ayah bisa mendengar kata-kata saya dari sini” kata istri saya terkejut.

Saya lihat istri saya berdiri tertegun, kira-kira dua meter jaraknya dari tempat saya berbaring.

“iya ma…saya dengar” kata saya memecah rasa tertegunnya.

“Alhamdulillahh…ayah sudah bisa mendengar lagii..” istri saya berteriak gembira.

Sambil menangis tersedu-sedu, ia memeluk saya. Saya makin penasaran ingin tahu jalannya operasi yang tadi dilakukan. Mengapa begitu singkat jalannya operasi itu. Apa yang telah dikatakan dokter kepada istri saya setelah operasi ? saudara-saudara sayapun telah berkumpul di kamar saya, mereka semua juga ingin tahu apa yang telah terjadi.

Istri saya menjelaskan, seharusnya operasi berjalan selama 6 jam. Setelah saya dibius, fungsi pernafasan saya di pindahkan ke sebuah alat, ventilator, karena seluruh otot pernafasan saya dilumpuhkan oleh anastesi yang diberikan oleh tim dokter bedah. Biasanya tindakan ini berlangsung selama 30 menit, tapi kali ini tim dokter yang menangani saya, tidak berhasil menemukan pipa paru-paru saya. Satu hal yang aneh menurut dokter, karena saya dalam keadaan sehat dan tidak memiliki kelainan apapun. Karena waktu terus berjalan, dan tidak mungkin melanjutkan operasi, maka dokter memutuskan bahwa operasi dibatalkan disebabkan tidak berhasil memindahkan fungsi pernafasan saya ke alat bantu.

Tuhan telah memberikan pertolongan kepada saya secara ajaib, dalam sekejap bisa mendengar kembali, Maha Benar janji Allah,

“Allah akan menolong hambaNya, selama hamba tersebut menolong sesamanya”.

Terimakasih kepada guru saya tercinta, guru besar Mahatma, Kyai Haji DR. Achmad Riva’i, yang membimbing saya untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah, selalu mencari ridloNya.



Seperti yang dikisahkan oleh:

Bapak Drs. Tukino Sugiyanto ( Tangerang – Banten )

NAM 001527

Telp 0818-747-220

Kepada

Bapak Ir. H. Edy Sulistyo MM.

NAM 070388

Telp 0811-1208-695

Komentar